TEOLOGI PEREMPUAN

TEOLOGI PEREMPUAN
Photo by Unsplash.com

Perempuan perlu dilihat dari tiga dimensi; dimensi  fisik, jiwa, dimensi gender/ sosial. Tanpa melihat dari 3 sudut ini, kita tidak akan mampu memberikan gambaran yang komprehensif tentang perempuan.

Secara fisik perempuan berposisi sebagai penerima, yang berpasangan dengan lelaki sebagai pemberi. Dan secara biologis perempuan sebagai penerima sprema dengan ovum, sedangkan laki berposisi sebagai pemberi sperma pada perempuan.

Karena itulah hubungan seksual sesamea perempuan menjadi absurd, karena tidak disebut penerima bila tak ada pemberi, dan begitu juga sebaliknya. dalam kenyataanya, fenomena homoseksualitas antara sesame pria mau pun antara sesame perempuan yang lazim disebut lesbian, dalam prakteknya tetap menggunakan, salah satu pihak berposisi sebagai pemberi dan pihak lain sebagai penerima.

Kemudian secara jiwa, tentang jiwa, atau secara kejiwaan, perempuan dan laki memiliki satu jiwa yang sama. Dengan kata lain, tidak ada jiwa perempuan dan tidak ada pula jiwa laki. Karena pertama, jiwa itu bersifat abstrak, dan kedua, keperempuanan dan kelakian itu hanya merupakan sebuah perilaku yang merupakan ekspresi dari gerak raga yang dikendalikan oleh jiwa. Itu bukan bagian dari jiwa itu sendiri. Sifat lembut dan sikap tegas itu ada pada, itu merupakan karakter yang ada pada laki dan juga ada pada perempuan. Namun, ekspresinya berbeda-beda. Sesuai dengan konstruksi fisik, hormone, dan tentu saja karena aspek sosial. Jadi bila dikatakan ada jiwa keperempuanan, itu sebetulnya ada pada laki dan perempuan, disebut sifat perempuan itu adalah kata lain dari jiwa lembut, tapi salah kaprah disebut itu jiwa keperempuanan. Jika itu jiwa keperempuanan, kenyataannya laki memilikinya. Jadi itu bukan khas karakter jiwa perempuan secara khusus. Begitu juga ketegasan juga bukan karakter khas, bukan sifat khusus jiwa laki-laki.

Secara sosial, perempuan dan laki memiliki posisi yang berbeda sebagai konsekuensi dari konstruksi fisiknya. Domain sosial itu berada di bawah hukum, baik hukum agama mau pun hukum positif. Atau norma-norma seperti tradisi dan budaya, dlsb. Perbedaan fisik itulah yang seringkali menjadi alasan perbedaan perlakuan dalam hubungan dan interaksi sosial. Meski tidak selalu adil dan benar.

Karena itu, kalau kita lihat dalam hukum agama, dalam hukum waris dalam agama, perempuan mendapatkan ½ dari laki. Karena, secara fisik, perempuan yang berposisi sebagai penerima itu mendapatkan hak-haknya dari pemberi, yaitu laki. Agama dalam hal ini adalah agama dalam konteks yang ideal, bukan dalam konteks faktualnya, yang telah terjadi. Mengapa demikian? Ketika, setiap laki menyadari posisinya, tahu tanggungjawabnya, dan melaksanakan fungsinya sebagai pasangan yang berposisi sebagai pemberi, maka, ia menanggung beban yang lebih berat dan memberikan jaminan-jaminannya, jaminan perlindungan, jaminan kasih-sayang, dsb kepada perempuan. Itu artinya, perempuan selian mendapat waris setengah, tercover oleh biaya yang diberikan laki yang menjadi pasangannya.

Namun, kenyataannya itu tidak berlaku. Dan tidak sedikit orang yang salah memahamai seakan-akan agama mengkonfirmasi fakta yang tidak benar itu. Justru ayat itu menegaskan kewajiban laki untuk menjamin biaya hidup perempuan yang menjadi pasangannya. Mestinya terfahami ketika seorang perempuan tidak mendapatkan hak perlindungan, biaya hidup, dlsb, ia tidak mendapatkan setengah.

Tentu ini merupakan isu sebuah wacana yang tidak bisa diputuskan begitu saja tanpa menghadirkan orang-orang ahli dalam hukum agama. Namun setidaknya itu bisa menjadi bahan untuk dikembangkan dan dieksplorasi lebih jauh dalam melihat hukum waris.

Dalam posisi sosial kita dapat membagi perempuan dalam beberapa fungsi. Pada artikel ini kita akan jabarkan fungsi pertama perempuan sebagai Ibu.

Yang perlu diperhatikan dalam fungsi sebagai ibu adalah fungsi sosial yang berbeda dengan induk. Ibu mengacu pada fungsi kemanusiaan, sedangkan induk mengacu pada fungsi kehewanan. Induk beraktifitas dan bergerak dengan insting dan naluri dala aktifitasnya, seperti reproduksi/berkembang-biak, menjaga keturunan dengan semua tanggungjawabnya, member makan, dlsb.

Menjaganya untuk tetap hidup. Bahkan utnuk melaksanakan fungsi instingtif ini, naluriah ini, ibu dalam situasi tertentu tergerak untuk mengorbankan dirinya. Karena nalurinya mendorongnya untuk melakukan itu dengan pemahaman bawah sadar bahwa kehidupannya telah berpindah ke anaknya. Sehingga bagi dia kematianya tidak lain sudah dilanjutkan oleh anaknya.

Bila fungsi keindukan ini dianggap sebagai sebuah prestasi dan kebaikan, maka hewan tentu jauh lebih berprestasi. Bayangkan saja kucing yang setiap hari kita liaht berkeliaran di sekitar rumah kita, bisa menemukan tempat yang aman untuk bersalin, dan melindungi anaknya, member anaknya makan, sampai ketika anaknya dirasa aman, kuat secara fisik ia biarkan keluar. Ketika kita melihatnya usianya sudah berberapa bulan. Ia melahirkan tanpa bantuan dukun, bidan apalagi dokter. Ia juga tak perlu mencari rumah bersalin untuk melahirkan anaknya.

Dengan segala macam cara instingnya mendorongnya untuk mencari tempat untuk melahirkan anaknya secara aman. Dalam merawat anak, perhatikan binatang buas seperti buaya dengan rahang raksasa yang menakutkan itu dengan lembut, tanpa terluka sedikitpun dia memindahkan telur lalu mengeraminya tanpa ada yang terinjak. Lalu saat sudah menetas ia akan memindahkannya dengan mulutnya dengan lembutnya induk buaya itu memindahkan ke muara atau ke laut dan mengajarinya untuk berenang. Serta melindunginya dari segala predator dan kemungkinan yang membahayakanya dengan segenap keberanian.

Manusia, yang melahirkan anak adakala hanya tidak menjalanakan fungsinya sebagai induk. Anaknya lahir begitu saja ditelantarkan, kalau tidak ditelantarkan, dieksploitasi, dijadikan pengemis. Anak di Jakarta yang menjadi penghuni tetap lampu merah di zebra cross, mereka adalah anak-anak dari induk-induk yang meninggalkan insting keindukannya. Mereka bukan hanya bukan ibu, mereka bahkan bukan induk. Dalam satu masa di daerah antartika, itu ada ribuan penguin dengan bentuk yang terlihat sama, dan pada saat mereka harus ke luar dari laut dan mencari anaknya yang juga kelihatan sama, mereka bisa menemukan anaknya dan memberikan makanan pada anaknya dengan penuh kasih-sayang. Tapi lihatlah kita sekarang, dalam kehidupan mansuia, anak justru diabaikan.

Manusia yang hanya melahirkan, menyayangi, memberimnya makan, membersarkannya, belum layak disebut sebagai ibu. Karena ia hanya menjalakan fungsinya sebagai induk, bukan ibu. Menyayangi, melindungi, memberi makan, menjaganya itu adalah kebutuhan bagi induk. Karena nalurinya mendorong itu. Sampai-sampai kalau tak mendapatkan objek untuk mencurahkan kasih-sayangnya, dia mengadopsi anak. Kalau tidak ada anak ia perlu menuangkan kasih sayangnya ke boneka panda atau apa pun yang jadi objek kasih-sayangnya.

Anak pun begitu. Anak bagi induk juga menerima kasih-sayang sebagai sebuah kebutuhan. Hidup berkelompok, membina rumah tangga, itu semua adalah gerak instingtif, saling menopang dalam sebuah administrasi yang begitu saja tiba-tiba orang tak perlu belajar untuk membina fungsi rumah tangga, induk, menjaga, dan mencari makan. Itu semua adalah tugas-tugas naluriah. Yang karena itu dia tidak layak untuk mendapatkan reward, karena itu adalah kerhendak yang mau tak mau jalan. Tak perlu ayat, doktrin agama untuk menerangkan, karena ia sudah ada secara alamiah.

Siapa yang disuruh mencintai anak? Justru yang disuruh karena sudah kehilangan cinta pada anaknya. Mengapa perlu disuruh karena manusia sudah kehilangan, sudah tergradasi. Sehingga perlu diingatkan supaya tidak hilang naluri. Naluri ini sudah tertanam, bukan disampaikan. Ia akan bergerak secara natural, secara otomatis.

Begitu banyak perempuan melahirkan, menyayangi, membiayai, melindungi, menjaga anaknya tetap sehat, tapi tidak memperhatikan aspek pendidikan, peningkatan moral, aspek kesadaran norma, maka ia tak lebih dari sebuah induk.

Sedangkan ibu, adalah fungsi kemanusiaan. Yang tidak mesti melahirkan. Kadangkala seorang perempuan tidak melahirkan sehingga ia tak befungsi sebagai induk, tapi dia bisa berfungsi sebagai ibu. Saat ia mendidik, merawat, tanpa ikatan biologis, tanpa ikatan genetik. Artinya bisa jadi seorang perempuan hanya induk. Bisa jadi seorang perempuan hanya ibu. Bisa jadi seorang perempuan bukan induk juga bukan ibu. Dan bisa jadi seorang perempuan induk sekaligus ibu.

Agama, norma, etika, logika, tradisi, hukum, dlsb itu berlaku terhadap perempuan yang berposisi sebagai ibu. Karena apa? Karena nalar, karena akal sehat yang menggerakkan. Yang menjadi sumber gerak dan aktifitasnya. Anjuran-anjuran menghormati perempuan sebagai ibu, itu adalah penekanan pada humanitasnya, aspek fungsi kemanusiaan pada pendidikan dan peningkatan moral, penghambaan pada Allah SWT. Dan pada perempuan-perempuan ini, yang menjalankan fungsi keperempuanan inilah surga ada di bawah kaki mereka.

Read more