SILENT ATHEISM

SILENT ATHEISM

Sebagian orang mengaku ateis karena pilihan kesadaran berdasarkan argumen-argumen yang terstruktur. Ini bisa disebut ateisme eksplisit.

Tapi banyak pula orang tanpa mengaku sebagai ateis  meragukan adanya Tuhan karena persepsi yang terbentuk oleh fakfa-fakta partikular dan personal dalam pengalaman personal atau interpersonal dalam interaksi sosial dalam skala luas dan sempit.

Alasan yang mendasarinya adalah pengalaman hidup yang getir sebagai korban ketidakadilan, pengkhianatan, dan aneka kejahatan lainnya hingga yang luas seperti kekejaman sebuah rezim despotik terhadap rakyatnya atau kebrutalan sebuah rezim imperialistik terhadap sebuah bangsa. 

Bukankah sudah banyak doa yang dipanjatkan? Bukankah Ia Maha-Melihat, yang karenanya tak memerlukan info tambahan? Bukankah Ia Maha Welas yang tak membiarkan tragedi luar biasa itu terjadi dan berlanjut? Bukankah Ia Maha Kuasa untuk memusnahkan para penjahat itu dan menghancurkan senjata-senjata mereka? Bukankah Ia telah berjanji membela orang-orang tertindas?

Pertanyaan-pertanyaan semacam ini kerap melintasi bahkan membayangi layar pikiran banyak orang. Motif keraguan dan penolakan terhadap Tuhan tidak selalu negatif, karena yang kerap menjadi dasar justifikasinya adalah pengalaman negatif yang dipahami sebagai ironi ketidakadilan dan kejahatan yang kian kuat dan seolah tak dikalahkan. Inilah yang bisa disebut ateisme implisit.

Ateisme implisit dapat dibagi dua sebagai berikut :

1. Ateisme Eksistensial, yaitu menolak adanya Tuhan, karena fakta-fakta yang dipersepsinya menegasi keadilan dan mengafirmasi keacuhan-Nya terhadap ketidakadilan.

Persepsinya tentang keacuhan entitas yang disebut Tuhan terhadap ketidakadilan menuntunnya kepada persepsi tentang  ketidaksempurnaannya.

Persepsinya tentang ketidaksempurnaan menuntunnya kepada persepsi ketiadaan-Nya, karena persepsinya tentang Tuhan yang tak sempurna mengantarkannya kepada paradoks kesempurnaan dan ketiadaan. Artinya, persepsi ini berbasis relasi niscaya ketaksempurnaan Tuhan dengan ketiadaannya.

2. Ateisme Esensial, yaitu menolak adanya Tuhan yang adil karena fakta-fakta yang dipersepsinya menegasi keadilan dan mengafirmasi keacuhan-Nya terhadap ketidakadilan.

Konsekuensi persepsi di atas mengarahkan pemersepsi kepada penolakan terhadap persepsi ketaksempurnaan Tuhan.

Persepsi ini tak niscaya menuntunnya kepada penolakan terhadap eksistensinya sebagai Tuhan pencipta. Persepsi tentang  ketidaksempurnaan Tuhan tak tak mengarahkannya kepada persepsi tentang ketiadaannya.

Ateisme esensial bisa terbentuk tanpa kesengajaan dan kesadaran sebagai keputusan intelektual. Ia biasanya terlontar dalam gurauan atau diskursus dan kadang diimplementasikan dalam tindakan-tindakan yang kontra prinsip-prinsip keagamaan juga meremehkan ritual-ritualnya. Inilah silent atheism.

Tapi yang lebih aneh adalah mengimani eksistensi Tuhan (Pencipta) sekaligus (tanpa sadar) melucuti keadilan dari eksistensi-Nya, seperti mengimani kebaikan dan keburukan bersumber dari-Nya sebagai keputusan absolut.

Read more