"YANG LAIN"

"YANG LAIN"
Photo by Unsplash.com

Karena sibuk memuja diri, memastikan apapun yang dipikirkannya, termasuk pilihan politiknya, sebagai kebenaran mutlak.

Karena memastikan pilihan politiknya sebagai kebenaran mutlak, otomatis bergabung dalam kubu sepandangan dan sepilihan politik.

Setelah bergabung dengan senyawanya, adrenalinenya terus dipompa dengan aneka narasi yang memperkuat libido polarisasinya.

Akibat mabuk polarisasi, menganggap siapapun yang berbeda pilihan politik dengan sebagai musuh dirinya.

Karena menganggap siapapun yang berbeda pilihan dengnnya sebagai musuh, dia mengorbankan etika dan logika dengan menyerang capres lain pilihan "musuhnya" dengan apapun yang diharapkannya bisa menjatuhkannya demi mengamankan peluang capres pilihan dan pujaannya untuk jadi pres.

Karena mengorbankan etika dan logika, merasa ringan bahkan perlu menganggap dan melukiskan bagian normal dan natural dari diri capres lain sebagai titik lemah yang tak terkait dengan pikiran dan tindakannya, apalagi pencapresannya.

Karena mungkin tak menjadikan pikiran dan tindakan capres lain itu sebagai target serangan, ia "terpaksa" mengandalkan narasi kebencian rasial. Ia pun secara sadar menjadi rasis.

Karena terlanjur jadi rasis, menganggap kesempatan menjadi beradab dengan mematuhi logika dan erika tertutup dan kepalang tanggung.

Karena merasa tak bisa lagi mundur, merasa perlu menyempurnakan pamdangan rasismenya, ia pun melepas kosmopolitanisme, menenggak chauvinisme, memuja tribalisme, membuang empati, toleransi dan norma kemanusiaan yang menentang rasisme dan menetapkannya sebagai keganjilan, kebiadaban dan kepandiran.

Karena merasa tak lagi memikul beban etika dan logika, ia membantai siapapun di luar polarnya dengan narasi-narasi kebencian, menghina bangsa lain karena bukan bangsanya, mencemooh negara lain karena bukan negaranya, mencaci budaya lain karena bukan budayanya, mencibir ras lain karena bukan rasnya, merendahkan etnis lain karena bukan etnisnya, memperlakukan siapapun dan apapun di luar dirinya dan yang sepilihan dengan dirinya sebagai sampah, tikus got dan semua yang buruk.

Karena menetapkan "yang lain" sebagai hina, salah dan buruk, tak sedetikpun meragukan sikapnya saat menyudutkan capres lain yang dibencinya dengan stigma buruk sebuah negara, bangsa lain, ras lain, etnis lain, komunitas lain, budaya lain yang dikait-kaitkan dengan "capres lain" itu (padahal dia tak terkait itu karena dia bukan wargan negara itu) demi memusnahkan eksistensinya dalam kompetisi, seperti menyebutnya "Wan Yaman" "Wan Abud" dan sebagainya karena dia adalah "yang lain".

Karena merasa harus membenci apapun yang bisa dikaitkan dengan "capres lain", dia mulai menarik dukungan, bahkan memihak negara palsu yang didirikan di atas tanahnya hingga pada akhirnya menganggap kelompok-kelompok yang berjuang demi kemerdekaan negara itu sebagai teror*is seolah mendukung Palest1na berarti mendukung "capres lain" itu.

Read more