FANTASI SORGA
FANTASI SORGA
Ceramah agama di sebuah televisi beberapa waktu yang memuat hal-hal yang terdengar mesum telah menimbulkan kecaman dan kontroversi.
Terlepas dari kontroversi yang meletus di balik celoteh mubalig muda itu, banyak orang yang terpancing untuk mencaritahu tentang hakikat kenikmatan di sorga.
Akhirat adalah babak kehidupan abstrak. Kebangkitan adalah peristiwa ideal. Sorga dan neraka adalah simbol keadilan ilahi.
Kebahagiaan hakiki adalah transendensi. Visualisasi kebahagiaan sebagai kenikmatan sensual dan fisikal adalah cara Tuhan melukiskan sebuah peristiwa misterius. Sungai, susu, madu, buah-buahan, wanita-wanita molek dan sebagainya adalah puncak fantasi manusia.
Kebahagiaan dan kesengsaraan di akhirat yang bersih dan simple takkan pernah sama secara total dengan kebahagiaan di dunia yang lusuh dan kompleks.
Bila para teolog menganggap eskatologi, maad dan hari akhir sebagai doktrin final, para filosof besar seperti Ibnu Sina, Suhrawardi dan Mulla Sadra justru isu ini secara intensif demi mencari hakikatnya.
Apakah ruh dan raga sama-sama mengalami kebangkitan, atau ruhnya saja, atau keduanya bangkit dalam sebuah teori komprehensif tentang raga yang relevan dengan kualitas kehidupan yang abstrak? Inilah induk polemik dalam stoa-stoa filsafat Islam.
Sebagian besar teolog, filosof, arif, dan sufi sepakat bahwa kebangkitan kelak adalah peristiwa fisikal dan metafisikal. Kematian dianggap sebagai perpisahan temporal, dan keduanya akan "reuni" dalam kebangkitan jasmani dan ruhani.
Persoalannya, apakah raga yang bersatu kembali dengan jiwa atau ruh itu adalah raga atau benda yang telah berubah dan terurai, ataukah raga baru ataukah raga lama yang mengalami pencahayaan sehingga senyawa dengan jiwa.
Ibnu Sina meyakini kebangkitan sebagai peristiwa fisikal dan metafisikal. Namun ia menganggap keyakinannya bersifat suprarasional alias dogmatis berdasarkan teks-teks suci yang menegaskan, karena, menurutnya, inferensi rasional hanya dapat menkonfirmasi kebangkitan metafisik.
Suhrawardi juga meyakini kebangkitan jasmani dan ruhani. Namun ia menolak klaim para teolog tentang kebangkitan jasmani sebagai reuninya jiwa dengan raga atau benda yang telah terurai dan musnah.
Pendapat dua filosof yang mewakili dua mazhab besar, masya'iyah dan isyraqiyah, ini terlihat kontras dengan makna denotatif dan konotatif ayat-ayat yang menegaskan kebangkitan fisik.
Mulla Sadra berupaya mengharmoniskan pendapat-pendapat para filosof dan para teolog tanpa mengabaikan makna ekspilisit teks ayat-ayat suci.
Menurut Sadra, setelah ruh terpisah dari raga, jiwa manusia akan beradaptasi dengan alam barzah dan kiamat lalu menciptakan sebuah dengan kualitas yang sesuai dengan fase immaterialitas alam barzakh, sebuah raga yang 'mirip' dengan raga di dunia, tanpa atribut keragaannya. Inilah raga non ragawi, raga ideal (mitsali) atau jism nurani.
Teori Sada tentu tidak sesederhana uraian singkat diatas. Ada bayak aksioma yang dibangun di baliknya. Ini bersumber dari pendapat khasnya tentang jiwa, transubstansi dan lainnya. Meski dianggap pemungkas dan berhasil mengharmoniskan rasio dan teks suci tentang kebangkitan jasmani dan ruhani, polemik terus bergulir memarakkan lingkaran-lingkaran daras filsafat di Qom hingga saat ini.
Sebagai konsekuensi dari teori Sadra, sorga dengan kenikmatannya dan neraka dengan kesengsaraannya yang divisualisasikan dalam al-Quran mesti ditafsirkan sebagai bagian dari peristiwa ideal, bukan fisikal dan sensual dengan ciri keduniaannya.
Apa yang diceramahkan oleh mubalig di TV beberapa waktu tentang kenikmatan seksual seperti di dunia manusia dan hewan adalah produk pemahaman agama minius akal sehat.
Tidak hanya dalam masalah sorga, semua doktrin agama yang hanya dicomot dari teks tanpa argumen rasional akan mengundang banyak pertanyaan kritis.
Karenanya, beragama tanpa akal sehat seolah memposisikan teks suci sebagai ajaran untuk orang-orang yang "la ya'qilun". Padahal al-Quran sendiri menganjurkan kita menggunakan akal.